Njogo Geni, Olah Rasa: Memetakan dan Mencatat Pembuatan Gamelan di Yogyakarta

Catatan riset oleh: Resa Setodewo

Mengingat Kembali, Menelusuri Jejak Gamelan

Jika mengingat kembali pengalaman pribadi ketika masih duduk di bangku sekolah, ada satu pengalaman menarik yang membuat saya merasa tumbuh besar dengan persinggungan erat dengan budaya Yogyakarta. Dahulu di sekolah saya, Taman Siswa, ada kegiatan yang diajarkan dan menjadi bagian dari kurikulum pengajaran di sekolah ini, yaitu tari dan gamelan. Semua murid diajarkan untuk menari dan nggamel, sesuatu yang dulu saya anggap umum tetapi ternyata tidak semua anak mendapatkan pengalaman yang sama. Mulai dari kelas 1 hingga ketika sudah duduk di kelas 6 sekolah dasar, kegiatan ini tidak pernah putus diajarkan oleh Taman Siswa. 

Terus terang, saya bukan penari yang baik, tetapi selalu antusias ketika bermain gamelan. Soal talenta, banyak teman yang lebih berbakat secara musikal sehingga paling mentok saya memainkan saron atau demung. Kalau sedang tidak beruntung karena pemain saron atau demung sudah terisi, maka jatah yang tersisa hanya kenong, kempul, atau gong. Instrumen seperti bonang buat saya terlalu rumit pada waktu itu. Guru saya, Ki Sari, pada waktu itu mengajarkan kami untuk tidak hanya bermain, tetapi juga menghormati gamelan. Salah satunya dengan cara tidak ngelangkahi atau melompat di atas gamelan. Dulu kami ditakut-takuti dengan mitos jika ngelangkahi gamelan, nanti tidak bisa buang air kecil. Otomatis, kami manut dan secara tidak langsung memperlakukan gamelan dengan hormat, begitu juga dengan cara bermain gamelan yang halus. Namun selayaknya anak SD, terkadang cara kami memainkan gamelan masih terbilang belum halus. Kadang memainkannya waton kenceng, di lain waktu terlalu alus hingga suara yang dihasilkan hampir tak terdengar. 

Pengalaman ini kemudian melekat erat dalam memori dan membuat saya menyelami persoalan gamelan ini lebih dalam, mulai dari komunitas hingga festival saya ikuti. Pada akhirnya menjelajah ke benua lain. Terus terang, ada rasa terkesima ketika instrumen gamelan bisa ditemui di negara lain seperti Jerman dan Inggris. Namun, di baliknya ada satu pertanyaan besar yang mengganjal pada waktu itu: dari mana semua instrumen gamelan ini didatangkan? Tentu dari Indonesia. Namun, daerah mana persisnya gamelan ini dibuat? 

Awalnya saya cukup naif karena memiliki pandangan bahwa karena gamelan adalah budaya yang dikenal di Jawa dan Bali, paling tidak kota tempat saya tinggal, Yogyakarta memiliki orang-orang yang ahli dalam membuat gamelan. Ternyata, saya keliru. Meskipun dugaan saya tidak seratus persen salah, tetapi ada hal yang membuat saya terheran-heran ketika mencoba memetakan tentang pembuatan gamelan ini. 

Penelusuran saya dimulai ketika melihat video yang diunggah di Youtube BNPB D.I. Yogyakarta soal Wirun, salah satu desa penghasil gamelan di Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Video ini diunggah pada tahun 2019, dibagi menjadi dua bagian. Awalnya video ini dibagikan oleh rekan di Inggris karena sedulur saya di Inggris, Sammy Brett (swargi), turut serta diwawancarai. Dari video inilah, saya secara personal menemukan gambaran soal besalen sebagai rumah produksi untuk gamelan. Meskipun, lokasi video tersebut sayangnya bukan berada di Yogyakarta. 

Pada awal tahun 2021, saya berkesempatan untuk datang langsung ke lokasi untuk survei terkait satu proyek yang digarap di Wirun. Ternyata, dalam satu desa ada lebih dari lima besalen yang masih aktif tetapi beberapa di antaranya tidak aktif karena terdampak pandemi. Desa ini menjadi salah sentra yang aktif dalam pembuatan gamelan sejak tahun 1956, beberapa besalen bahkan sudah mengirimkan hasil karyanya ke luar negeri. Sempat menilik ke dua besalen yang dimiliki oleh Mas Krisyanto dan Pak Saroyo, keduanya memiliki kondisi berbeda, tetapi kurang lebih bisa menggambarkan bahwa pekerjaan di besalen bukan pekerjaan mudah dan butuh ketelatenan tinggi. Kondisi kedua besalen boleh dikatakan minim cahaya dari luar. Hal tersebut terkait dengan proses penggarapan gamelan mulai dari proses pelelehan bahan hingga penempaan. Jika besalen terkena cahaya, akan sulit untuk melihat dan memastikan ketika bahan yang dilelehkan sudah sepenuhnya ataupun ketika dalam proses penempaan, tingkat kematangan tertentu piringan/lempengan yang dimasak dalam bara api agar bisa ditempa dengan baik.

Di kedua lokasi tersebut ada beberapa wilah, bilah gamelan, bonang, kempul, dan juga gong yang masih belum jadi sepenuhnya. Beberapa di antaranya masih kusam dan belum dilaras. Di tempat Pak Saroyo misalnya, beberapa gamelan yang belum selesai digarap masih berada di besalen yang letaknya berada di belakang rumah, sedangkan untuk garapan yang sudah jadi disimpan di lokasi lain yang terletak di depan rumah. Ruangan tersebut mirip ruang showcase yang mempertontonkan gamelan yang sudah jadi dan sudah dilaras. Ketika tiba di lokasi, waktu sudah sore sehingga kami belum dapat menyaksikan proses pembuatan secara langsung saat prapen di besalen tersebut sedang aktif. 

Terus terang ketika melihat semua itu, mata saya berbinar-binar. Ada pengharapan besar bahwa nantinya akan ada kondisi serupa yang dapat saya temukan ketika mencoba mencari besalen di Yogyakarta. Dari poin inilah kemudian saya berefleksi, apakah Yogyakarta memiliki hal yang sama? Apakah ada besalen yang aktif dan bisa ditemui? Pertanyaan ini kemudian berlanjut pada penelusuran yang coba dilakukan. Namun sebelum itu, ada baiknya saya menjelaskan secara sekilas besalen gamelan sebelum masuk lebih dalam.

Geni Para Pengrajin Gamelan: Penjelasan Mengenai Besalen

Menurut Ki Trimanto Triwiguna (swargi) sebagai salah satu empu gamelan Yogyakarta, dikutip Purwadmadi (2019) dalam makalahnya untuk proyek Javanologi (1983), menjelaskan bahwa pembuatan gamelan memerlukan peralatan di antaranya: rumah besalen untuk tempat tungku api, pengecoran, dan penempaan yang berfungsi sebagai ruang kerja pandhe gamelan; dan prapen, tungku api yang dibagi menjadi tiga, yaitu prapen besar untuk membuat gong, prapen sedang untuk melelehkan logam bahan pembuatan kempul dan kenong, dan prapen kecil untuk wilahan.

(Foto Prapen Kecil, Oleh: Resa Setodewo)

Ada juga beberapa kelengkapan prapen, seperti suling atau pipa besi; tumpukan bata merah, tonggak-tonggak potongan besi eser; potongan bambu sebagai sambungan suling; lamus, selongsong dari kulit kambing untuk memompakan angin; tandhes atau poros dari batu hitam dan mendhan dari batu untuk alas tempa; angel dari potongan besi rel untuk mengungkit material gamelan; cukat pengungkit dari besi baja untuk memutar lakar gamelan (gamelan setengah jadi atau sedang diproses) yang sedang dibakar; sapit atau cepit untuk menjepit lakar gamelan yang sedang ditempa; plandan yang serupa dengan kolah ‘bak air’ selebar 1,5 meter dengan kedalaman 1 meter; kowi panci dari tanah dicampur arang sekam; palu dengan beragam jenis dan fungsi; ladok khusus untuk gamelan jenis pencon; pelepah pisang untuk alas gamelan berat; tumbak dari bambu untuk mengatur kemiringan badan gamelan jenis pencon; colok dari bambu kecil untuk obor penerang yang diarahkan ke lakar kenong, kempul, gong, dan bonang yang selesai dibuat; kolong, lingkar besi beton eser untuk menyangga gamelan jenis pencon yang selesai ditempa dan siap masuk kolah; tapas dari pelepah kelapa untuk meredam panas saat memegang cepit; singen, batu hitam yang permukaannya dibuat cekung untuk penuangan cairan logam yang membentuk gamelan jenis pencon; malam cairan untuk melapisi singen sebelum dituang cairan logam, selesai dituang ditaburi sekam; daun pohon randu, dihaluskan untuk melenturkan lamus agar dapat dioperasikan sebagai pemompa udara ke perapian; arang jati, untuk bara api saat bilah gamelan dalam proses tempa; peralatan untuk sekrap dan alat sentuh akhir bagi bilah dan pencon gamelan yang sudah jadi, seperti kikir, gerinda, patar, kesik, gergaji besi, amplas, dan sebagainya; bur besi untuk membuat lubang agar paku bisa masuk dan dapat dipasangkan dengan rancakan; tanggem untuk menjepit gamelan; dan petak, potongan kayu untuk perbaikan permukaan gong atau kempul agar bisa dilaras. Kurang lebih tercatat ada 26 pelengkap yang dibutuhkan untuk prapen. Meskipun, pada praktiknya saat ini beberapa peralatan sudah ada yang diganti lebih modern untuk mempermudah dan mempercepat proses pembuatan.

Bermodal peralatan yang tidak sedikit ini, paling tidak, empu gamelan membutuhkan setidaknya 12 orang yang terlibat untuk proses pembuatannya, mulai dari melelehkan bahan hingga melaras gamelan yang sudah jadi. Para pandhe gamelan ini juga yang memiliki peranan dalam membentuk dan memberikan suara kepada gamelan yang dibuat. Bisa dikatakan, ini adalah pekerjaan berat yang membutuhkan keterlibatan banyak orang dengan beragam keahlian.

Berpegang pada pedoman soal besalen dan prapen yang menjadi jantung dari proses pembuatan gamelan, saya berusaha mencari dan menelusuri besalen gamelan di Yogyakarta. Usaha untuk memetakan besalen yang hingga saat ini masih aktif memproduksi gamelan.

Menilik Sejarah, Memetakan Pembuatan Gamelan di Yogyakarta

Berangkat dari pernyataan menilik sejarah dan memetakan pembuatan gamelan di Yogyakarta, penelusuran awal yang saya lakukan adalah mencoba untuk mencari dokumen sejarah yang terkait dengan pembuatan gamelan, khususnya di Yogyakarta. Penelusuran ini kemudian bermuara pada satu dokumen yang dikumpulkan oleh Jaap Kunst, seorang Etnomusikolog dari Belanda yang memiliki perhatian terhadap musik Indonesia. Perkenalan Jaap Kunst dengan gamelan di Keraton Pakualaman di tahun 1919 membuatnya terpikat dan menjadikannya seorang etnomusikolog yang mempelajari dan mendokumentasikan musik di Indonesia. 

Dari dokumen yang dikumpulkan oleh Jaap Kunst (1973) dalam bukunya Music in Java, selain ratusan koleksi foto instrument yang dikumpulkannya, ada juga tabel yang dibuat untuk memetakan jumlah gamelan (pelog maupun slendro) dan pembuat gamelan serta wayang yang ada di Jawa, termasuk di Yogyakarta. Dalam dokumen tersebut, tertulis bahwa Yogyakarta pada waktu itu memiliki total 27 pembuat gamelan dengan pembagian: 2 pembuat gamelan perunggu, 4 pembuat gamelan kuningan, dan 21 pembuat gamelan besi. Khusus untuk pembuat gamelan perunggu, lokasinya berada di Keraton Yogyakarta dan Kotagede. Namun, tidak dijelaskan secara detail lokasi persis ataupun nama besalen gamelan yang ada di dua lokasi tersebut.

Sumber-sumber lain menyebutkan dua nama yang diketahui sebagai pembuat gamelan perunggu di Yogyakarta. Kedua nama tersebut adalah Ki Trimanto Triwiguna (swargi) dan Pak Darjo (swargi). Bambang Paningron, salah satu budayawan Yogyakarta, menyebutkan bahwa pembuat gamelan perunggu terakhir yang memiliki besalen adalah Ki Trimanto Triwiguna. Hal ini pun juga diamini oleh para pengrajin yang saya temui ketika mencoba menelusuri pembuat gamelan perunggu yang memiliki besalen serupa seperti beberapa daerah di Jawa Tengah. Ki Trimanto Triwiguna yang berasal dari Boyolali adalah satu empu gamelan yang dikenal di Yogyakarta. Pak Trimanto sendiri memiliki besalen gamelan di Yogyakarta dengan nama Pradangga Yasa. Beberapa pengrajin dan penglaras, salah satunya Pak Suhirdjan (swargi) yang kerap mengirimkan gamelan ke luar negeri, juga mengambil gamelan yang diproduksi di besalen milik Pak Trimanto.

 (Bahan mentah perunggu, oleh: Larasing Ati)

Namun, Ki Trimanto Triwiguna bisa dikatakan sebagai generasi terakhir di Yogyakarta karena setelah itu tidak ada lagi yang memiliki besalen khusus untuk gamelan perunggu. Para pengrajin yang ikut bersama dengan Ki Trimanto Triwiguna berasal dari Boyolali. Setelah beliau meninggal dunia, mereka kembali ke Boyolali untuk meneruskan menjadi pengrajin di sana. Untuk menghormati Pradangga Yasa milik Ki Trimanto Triwiguna, nama tempat yang digunakan di Boyolali adalah Pradangga Yasa II.

Selain Ki Trimanto Triwiguna, nama lain yang disebutkan oleh Pak Legi (Daliyono Legiono Gamelan) dan Pak Tri Suko (Gamelan Bondo Gongso) adalah Pak Darjo. Meskipun belum sebaik Ki Trimanto Triwiguna, Pak Darjo mampu membuat gamelan perunggu. Pak Darjo juga salah satu yang memiliki besalen gamelan perunggu di daerah Baturan. Beberapa kali Pak Daliyo, ayah dari Pak Legi sekaligus pendiri Daliyono Legiono, mengambil gamelan perunggu dari tempat Pak Darjo. Namun menurut Pak Tri Suko, usaha Pak Darjo yang dilanjutkan oleh anaknya saat ini sudah tidak aktif lagi. Jadi, dapat dikatakan Yogyakarta memang tidak memiliki pembuat gamelan perunggu yang mumpuni setelah itu. 

Banyak sekali pengrajin dan penjual gamelan perunggu, tetapi kebanyakan diambil dari daerah Jawa Tengah yang memang masih aktif berproduksi dan memiliki besalen yang bisa digunakan untuk membuat gamelan perunggu. Produk yang diambil adalah produk setengah jadi, belum memiliki rancakan atau masih dalam keadaan belum dipoles dan dilaras. Produk ini nantinya digarap oleh para pengrajin dan penjual gamelan di Yogyakarta sehingga menjadi satu produk utuh yang sudah dipoles dan dilaras.

Dari penelusuran ini, saya mencoba memetakan pembuat gamelan terkini sekaligus menelusuri keberadaan besalen gamelan di Yogyakarta. Pemetaan ini kemudian membawa saya kepada empat lokasi berbeda yang tersebar di Kota Yogyakarta, Sleman, dan juga Bantul. Empat tempat tersebut adalah Hadi Seno Gamelan yang dikelola oleh Pak Sugeng Tri, Daliyono Legiono Gamelan yang dikelola oleh Pak Legi, Bondo Gongso Gamelan yang dikelola oleh Pak Tri Suko, dan Gamelan Center (CV Karya Mandiri Wibowo) yang dikelola oleh Mas Bowo. Keempat lokasi ini dipilih berdasarkan penelusuran informasi yang didapatkan terkait dengan pembuatan gamelan di Yogyakarta. Tentu, ini belum mencakup total keseluruhan dari pembuat gamelan di Yogyakarta dari sekian yang ada.

Yogyakarta memiliki beberapa pengrajin gamelan tetapi tidak semuanya memiliki besalen untuk membuat gamelan perunggu. Mas Bowo (Gamelan Center – CV Karya Mandiri Wibowo) adalah salah satu yang berusaha merintis membangun besalen gamelan untuk pembuatan gamelan perunggu. Namun, saat ini masih sangat terbatas karena belum bisa membuat gong. Besalen yang dimiliki Mas Bowo, jika dibandingkan dengan yang ada di Wirun, misalnya, ukuran ruangannya hanya separuhnya saja. Namun, besalen ini sudah memiliki prapen yang bisa digunakan untuk mencairkan bahan perunggu, meskipun belum cukup besar untuk membuat kenong atau gong. Mas Bowo sendiri mengakui bahwa besalen miliknya ini nantinya akan dikembangkan lagi secara bertahap karena ada keinginan untuk bisa membuat gong dari perunggu.

(Menyalakan prapen untuk melebur perunggu, oleh: Larasing Ati)

Sementara itu, Pak Sugeng Tri sebagai generasi kedua pengelola Hadi Seno Gamelan memiliki kondisi yang berbeda dengan Mas Bowo. Pak Sugeng Tri memiliki besalen namun lokasinya tidak berbeda di Yogyakarta. Gamelan setengah jadi produksi besalen-nya dibawa ke Yogyakarta untuk diproses lebih lanjut hingga menjadi satu instrumen utuh yang sudah dilaras dan siap digunakan. Pak Sugeng Tri sendiri mengaku keisinan ‘malu’ karena Yogyakarta yang dianggap sebagai salah satu poros kabudayan ‘kebudayaan’ tidak memiliki besalen yang aktif untuk produksi gamelan perunggu. Beliau berpendapat bahwa gamelan sendiri menjadi bagian penting dari kebudayaan Yogyakarta. Sungguh disayangkan produksinya kurang mendapatkan perhatian. 

Gamelan kuningan atau besi di Yogyakarta sendiri memiliki pengrajin yang cukup banyak. Menilik catatan dari Jaap Kunst, total terdapat 25 pembuat gamelan kuningan dan besi. Sementara saat ini, ada kurang lebih sekitar 30-an pengrajin yang menggarap gamelan kuningan dan besi. Beberapa di antaranya adalah Daliyono Legiono Gamelan dan Bondo Gongso. Meskipun keduanya sama-sama membuat gamelan kuningan dan besi, masing-masing memiliki sentuhan tersendiri dalam pembuatannya. 

Pak Legi selaku pengelola generasi kedua Daliyono Legiono Gamelan mengemukakan soal teknik pembuatan yang digunakannya dalam menggarap gamelan besi dan kuningan. Khusus untuk besi, Pak Legi tidak hanya menggunakan teknik las, tetapi juga teknik lipetan untuk instrumen gantung seperti kempul dan gong. Pak Legi memiliki ciri khas untuk proses pembuatan gamelan kuningan yang hampir serupa dengan gamelan perunggu. Produk gamelan kuningannya tidak memiliki sambungan seperti ketika menggunakan teknik las. Untuk proses pembuatannya, Pak Legi memanaskan lempengan kuningan hingga merah membara lalu ditarik dan ditempa. Proses ini berbeda dengan kuningan yang bahannya harus dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair lalu dicetak dan baru dibentuk setelahnya.

Sementara itu, Pak Tri Suko, pengelola generasi ketiga dari Gamelan Bondo Gongso, menggunakan teknik las untuk pembuatan gamelan kuningan dan besi di lokasi produksinya yang bertempat di Banyuraden, Gamping. Tidak hanya membuat gamelan saja, Bondo Gongso juga membuat kendhang dan perkusi serta membuat sendiri bagian rangka untuk dipasangkan dengan gamelan produksi milik mereka. Bisa dibilang, Gamelan Bondo Gongso juga salah satu lokasi yang cukup komplet dalam produksi gamelan kuningan dan besi.

(Mencetak wilah gamelan perunggu, oleh: Larasing Ati)

Pembuat gamelan di Yogyakarta sendiri terdapat lebih dari 30-an. Sebagian dari para pembuat gamelan tersebut pada bulan Februari/Maret lalu berkumpul dan berinisiatif untuk mendirikan Paguyuban Pengrajin Gamelan Yogyakarta (PPGY) dalam rangka menyatukan visi misi sebagai pengrajin gamelan. Pak Sugeng Tri yang merupakan bagian dari PPGY mengungkapkan bahwa setidaknya ada 35 pengrajin gamelan telah bergabung. Terdapat sekitar 10 pengrajin yang mampu menggarap gamelan perunggu. Jumlah pengrajin ini belum semuanya karena masih ada beberapa yang belum terhitung karena memilih untuk tidak bergabung dengan PPGY, di antaranya adalah Pak Legi (Daliyono Legiono Gamelan) yang memiliki pandangan berbeda.

Dari penelusuran ini dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini para pengrajin mengakui bahwa untuk pembuatan gamelan perunggu yang digarap di besalen hampir tidak ada. Kalaupun ada, seperti besalen milik mas Bowo di Gamelan Center, prapen yang dimiliki hanya bisa digunakan untuk membuat bilah. Perlu prapen dengan ukuran sedang dan juga besar untuk produksi kenong, kempul, dan juga gong. Proses penggarapan gamelan kuningan dan besi berbeda dengan gamelan perunggu. Untuk bahan besi, misalnya, penggarapannya tidak memerlukan dan kebanyakan menggunakan teknik las. Sementara pada kuningan, misalnya khusus untuk kasus Pak Legi, api dan prapen memang digunakan tapi tidak seperti di besalen gamelan perunggu. Lempengan kuningan dipanasi hingga merah membara kemudian dibentuk dan ditempa, tidak seperti perunggu yang harus dilelehkan dan dicetak terlebih dahulu sebelum ditempa. Tentu ini mengejutkan, mengingat gamelan adalah satu instrumen penting dalam kebudayaan Yogyakarta. Bisa dikatakan ekosistem gamelan di Yogyakarta masih memiliki kekurangan di bagian produksi, terutama gamelan perunggu.

Njogo Geni atau Kepaten Obor: Pewarisan Ilmu dan Kekhawatiran Pengrajin Gamelan Yogyakarta

Jika berbicara soal pewarisan mengenai pembuatan gamelan, barangkali kita bisa berkaca pada Jawa Tengah, Wirun misalnya. Produksi gamelan di Wirun sudah dimulai sejak tahun 1956 yang dimulai oleh Reso Wiguno. Dari titik ini kemudian terjadi proses pewarisan yang menggunakan sistem seperti nyantrik dalam pewarisan ilmu dan teknik dalam produksi gamelan perunggu. Setelah matang, para cantrik ini mentas untuk membuat besalen dan menghidupkan prapen mereka masing-masing. Setelah memiliki besalen masing-masing kemudian menarik murid lagi untuk nyantrik di tempat mereka. Proses pewarisan ini berlangsung terus menerus sehingga jumlahnya tidak sedikit. Inilah yang terjadi di desa Wirun sehingga proses pewarisan pembuatan gamelan masih terus hidup. Bisa dikatakan desa Wirun menjaga dan melestarikan proses pembuatan gamelan tersebut hingga bisa berkembang dan bertahan seperti sekarang ini. Setidaknya ada lima besalen gamelan perunggu yang saat ini masih aktif mengerjakan gamelan perunggu, meskipun harus diakui beberapa di antaranya terkena dampak pandemi. 

Salah satu permasalah terbesar yang dihadapi oleh para pengrajin gamelan di Yogyakarta adalah pewarisan. Hal ini juga salah satu yang menyebabkan ketiadaan penerus besalen gamelan perunggu di Yogyakarta setelah Pak Trimanto meninggal. Para pengrajinnya kembali ke tempat asalnya di Boyolali. Tidak ada keturunan dari Pak Trimanto yang meneruskan usaha besalen gamelan ini di Yogyakarta. Sayangnya, tidak ada pengrajin dari Yogyakarta yang mengikuti beliau dan berusaha mendirikan sendiri besalen gamelan perunggu.

(Menempa wilah, oleh: Larasing Ati)

Kekhawatiran terhadap proses pewarisan ini memang juga menjadi perhatian dari para pengrajin gamelan di Yogyakarta. Saat ini belum ada pembuat gamelan perunggu di Yogyakarta karena tidak adanya pewarisan yang dilakukan oleh generasi terakhir yang membuat dan memiliki besalen pembuatan gamelan perunggu. Ada upaya-upaya untuk menghidupkan kembali pembuatan gamelan perunggu tetapi proses ini pun perlu mendatangkan empu atau ahli dari Jawa Tengah untuk membagikan ilmunya, bisa jadi ini proses yang tidak mudah. 

Namun, upaya pewarisan ini tetap dilanjutkan oleh para pengrajin yang ada di Yogyakarta terutama untuk pengrajin gamelan kuningan dan besi. Pak Sugeng Tri, misalnya, merupakan generasi kedua yang meneruskan Hadi Seno Gamelan yang sebelumnya didirikan oleh orang tua beliau. Pak Legi yang mengelola Daliyono Legiono pun juga sama. Beliau merupakan generasi kedua yang mengelola pembuatan gamelan kuningan dan besi, sedangkan pak Tri Suko merupakan generasi ketiga yang mengelola Gamelan Bondo Gongso dan terus mengembangkan peninggalan dari generasi sebelumnya.

Pak Legi menceritakan bahwa beliau telah mempersiapkan putra tertuanya untuk menjadi penerus yang mengelola Daliyono Legiono Gamelan. Beliau menjelaskan bahwa ada keinginan meneruskan usaha yang telah dirintis oleh orang tua beliau (Pak Daliyono) supaya bisa terus hidup. Berkaca pada saudara Pak Daliyono yang dahulu juga pengrajin gamelan, Pak Sawal tidak lagi melanjutkan produksi gamelan karena tidak ada yang meneruskan. Namun, proses transisi yang dilakukan oleh Pak Legi kepada putra tertuanya dilakukan secara bertahap. Beliau menyadari ada rasa khawatir nantinya putra beliau tidak tertarik untuk melanjutkan usaha yang sudah beliau kembangkan jika tidak dilakukan secara bertahap, mulai dari proses pembuatan hingga melaras gamelan.

(Melaras gamelan, oleh: Resa Setodewo)

Dari cerita yang dijelaskan oleh Pak Legi, beliau masih mengandalkan rasa dalam proses pembuatan sekaligus melaras gamelan garapannya. Ini adalah salah satu yang diwariskan oleh Pak Daliyono yang masih dilanjutkan Pak Legi hingga saat ini. Bagi Pak Legi, rasa memiliki peranan penting dalam proses pembuatan gamelan supaya instrumen yang dihasilkan nantinya bisa harmonis.

Pak Tri Suko memiliki cerita tersendiri soal pewarisan ini. Sebagai generasi ketiga pengrajin gamelan sekaligus generasi keempat di trahnya, beliau merasa bahwa ada keinginan untuk menjaga proses ini agar terus berjalan. Beliau mengingat pesan dari Pak Slamet, mendiang bapak dari pak Tri Suko, bahwa jangan sampai Bondo Gongso ini kepaten obor ‘tidak ada yang meneruskan’. Pak Tri Suko memegang pesan ini dengan teguh dengan mengelola usaha ini bersama adik agar Bondo Gongsoterus berjalan. Sebelum mengelola, Pak Tri Suko sering diajak oleh Pak Slamet untuk melihat dan mengamati proses pengerjaan instrumen di Bondo Gongso dan beberapa tempat lain. Pak Slamet mendorong Pak Tri Suko untuk lebih aktif mempelajari dengan cara tidak memberi tahu, tapi membiarkan pertanyaan itu datang langsung dari Pak Tri Suko. Hal ini memancing rasa ingin tahu untuk mempelajari lebih jauh tentang kegiatan atau proses yang sedang berlangsung. 

Pak Tri Suko sendiri merasa masih banyak yang harus dipelajari, tetapi Pak Slamet meninggal dunia. Pak Tri Suko diberi kepercayaan untuk menjaga “obor” Bondo Gongsoagar tetap menyala. Beberapa pekerja di masa Pak Slamet mengelola Bondo Gongso, masih setia untuk terlibat hingga saat ini. Pak Tri Suko sendiri mengaku belum menyiapkan anaknya untuk menjadi penerus karena masih kecil. Namun, beliau berharap bahwa penerus Bondo Gongso nanti masih satu trah sehingga Bondo Gongso tetap urip lan urup hingga generasi berikutnya.

PPGY, menurut keterangan dari Pak Sugeng Tri, memiliki rencana besar untuk membangun besalen pembuatan gamelan perunggu di Yogyakarta. Rencana besar ini seiring dengan keprihatinan terhadap belum adanya besalen gamelan perunggu yang aktif lagi di Yogyakarta setelah Pak Trimanto dan Pak Darjo. Besalen gamelan ini rencananya akan dibangun di satu tempat dengan tiga prapen yang dibagi untuk pembuatan wilahan dan pencon, bonang dan kenong, serta suwukan. Kehadiran besalen gamelan perunggu ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem yang mendukung gamelan sebagai salah budaya yang diusung oleh Yogyakarta. Selain itu, juga harapan nantinya besalen ini dapat menghasilkan instrumen yang mampu bersaing dengan beberapa daerah lain di Jawa Tengah.

Penelusuran lebih jauh menemukan salah satu permasalahan yang dikeluhkan oleh para pengrajin gamelan di Yogyakarta. Keluhan ini berhubungan dengan lelang yang dilakukan oleh dinas terkait pengadaan gamelan perunggu. Salah satu syarat yang dicantumkan adalah mampu membuat atau memproduksi gamelan perunggu. Dengan kondisi saat ini, tentu saja hal ini menjadi tidak memungkinkan. Tidak adanya besalen aktif yang mampu membuat gamelan perunggu secara komplit membuat syarat yang dicantumkan tidak bisa dipenuhi. Otomatis pembuatan gamelan perunggu kemudian dilimpahkan ke daerah lain yang lebih mumpuni. Dalam hal ini Sukoharjo, Boyolali menjadi beberapa yang dianggap terampil dalam mengerjakan gamelan perunggu. Jika kondisi ini terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin akan menimbulkan friksi yang membuat perkembangan pengrajin gamelan di Yogyakarta menjadi tidak signifikan, bahkan perlahan-lahan menghilang.

Hal lain yang juga cukup meresahkan bagi para pengrajin gamelan yang saat ini sedang dalam proses uji adalah gamelan molding atau cetak. Gamelan cetak ini menggunakan mesin untuk proses produksinya, dari segi waktu tentu lebih efisien dibandingkan dengan gamelan yang ditempa. Beberapa pengrajin gamelan di Yogyakarta mengikuti perkembangan gamelan cetak ini bahkan sudah melihat langsung produk yang dihasilkan. Namun, mereka berpendapat bahwa produk yang dihasilkan tidak begitu baik padahal sudah memakan biaya yang tidak sedikit.

Purwadmadi (2019), penulis “Material Gamelan dan Konteks Budaya”di situs Perwara yang juga menceritakan soal Ki Trimanto Triwiguna, menuliskan salah satu bagian menarik terkait pembuatan gamelan cetak sebagai berikut, “Meskipun sudah sangat sering adanya keinginan membuat gamelan lewat cara cetak namun peleburan dan penempaan berulang atas logam tidak mudah ditinggalkan karena ‘memasukkan’ bunyi musikal ke dalam bilah gamelan bukan perkara sederhana”. Beliau juga menyinggung persoalan pembuatan gamelan yang tidak dibuat secara masif dan suara gamelan yang ditempat lebih nyaring dibandingkan ketika hanya dicor/dicetak. Tentu, ini bisa menjadi sebuah pengingat bagi kita semua bahwa sesuatu yang diproduksi secara masif bisa menghasilkan puluhan atau ratusan instrumen dalam waktu yang singkat, tetapi jika kualitasnya tidak lebih baik daripada yang ditempa dan tidak bisa digunakan secara layak untuk apa? Hal ini yang perlu kita semua perlu refleksikan secara mendalam.

Referensi

Kunst, Jaap & Heins, E.L. (Ed.). 1973. Music in Java: Its History, Its Theory and Technique (Volume II). Netherland: The Hague.

Purwadmadi. 11 Januari 2019. Material Gamelan dan Konteks Budaya. (Daring). (https://www.perwara.com/2019/material-gamelan-dan-konteks-budaya/ diakses pada 28 Agustus 2021).

Narasumber

Mas Bowo, Gamelan Center

Pak Sugeng Tri, Hadi Seno Gamelan

Pak Legi, Daliyono Legiono Gamelan

Pak Tri Suko, Gamelan Bondo Gongso



Cerita Lainnya