Sumpeg, Juweh, Tetep Kudu Ngopeni Geni, Maro: Ben Awake Dewe Tetep Urip

Presentasi Kehidupan Sehari-hari: Siasat dan Sikap Batin Orang Biasa dalam Lanskap Budaya Yogyakarta ketika Mengelola Krisis yang Menghampirinya


Catatan lapangan oleh Ignasius Kendal

Yogyakarta, 5 September 2021.


Selentingan tentang Jiwa-Jiwa Termasyhur

“Yogyakarta menjadi termasyhur oleh karena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu!”

Soekarno pernah mengucap kalimat tersebut pada 28 Desember 1949 sebagai tanggapan atas kekagumannya terhadap manusia-manusia (jiwa-jiwa, manusia budaya) Yogyakarta. Kira-kira setahun berikutnya, sekitar tahun 1950-an, dua jiwa yang baru saja mengucap janji pernikahan kemudian berteduh di bawah kerindangan pohon preh yang terletak di pojok barat laut dari komplek sekolah SMA 3B (SMAN 3 Padmanaba Yogyakarta) yang berlokasi di kawasan Kotabaru. Pengantin muda inilah yang merintis sebuah tempat perhentian bagi jiwa-jiwa termasyhur lainnya untuk mampir sejenak menikmati sarapan pagi atau makan siang. Kini hampir 51 tahun sudah berlalu. Ketik pohon preh besar itu sudah tumbang tidak berbekas, Warung milik Mba Citro Mulyono Pojok Pengkolan Kulon 3B‒demikian beberapa kawan akrab saya menyebut lokasi ini‒masih hidup dan menjadi ruang teduh bagi pelintas jalan dengan segala percakapan dan sapaan renyah di dalamnya. Tak jarang, di dalam warung kita juga bisa menguping percakapan cukup berat tentang beragam isu terkini dari orang-orang yang berjumpa hanya beberapa puluh menit saja. Meskipun, percakapan itu bukan forum akademik ataupun webinar cendekia. Begitu hangat dan intim di sini, meski bisa jadi mereka tidak saling kenal satu sama lain ataupun hanya jumpa wajah beberapa kali kesempatan ya di dalam warung. 

Ning warung kene iki sing teka ya jebul wong macem-macem, seka ngendi-ngendi. Ana wong kantoran, ana sing metuk anak sekolah, ana sing tukang becak, ana sing tukang ojek, ana sales, ana dokter, ana pensiunan, ana mahasiswa, ana guru, ana bakul, ana juragan, ana sopir, ana pegawai, mbuh apa maneh. Ya seneng, dadi krungu akeh crita. Ya tak kancani ngobrol. Njuk, dadi kenal apik banget.

Kotabaru adalah kawasan elite di bagian pusat kota Yogyakarta yang terletak di sebelah timur dari Kali Code. Tata ruang kawasan ini dulunya dibangun oleh kolonial Belanda dengan imajinasi tata ruang kota di Eropa pada masanya. Kotabaru menjadi komplek pemukiman yang lengkap dengan memiliki tempat peribadatan (1 gereja Katolik, 1 gereja Kristen, dan 1 masjid), tempat olahraga (Stadion Kridosono), tangsi militer, rumah sakit militer, sekolah, dan sekarang berkembang dengan tempat usaha leisure masa kini. 

Kawasan Kotabaru tersambung langsung dengan Malioboro, Stasiun KA Tugu, Pasar Kembang, komplek Kepatihan, Pasar Beringharjo, dan Titik Nol Kilometer. Sehingga tidak heran jika setiap hari menjadi perlintasan utama bagi warga pengguna jalan yang beredar di tengah kota. Di dalam kawasan inilah, Warung Pojok Pengkolan 3B berada dengan layanan yang dibuka mulai dari pagi hingga menjelang sore hari. Dua terbitan koran lokal hari ini akan selalu tergeletak di meja bagian dalam. Siap menemani mereka yang hanya ingin berdiam diri dengan membaca saja atau sedang tidak ingin ikut mempercakapkan beragam isu terkini. 

Tahun ini saya sebagai salah satu tim Riset Festival Kebudayaan Yogyakarta 2021 (FKY 2021), kemudian memilih ruang kecil percakapan dalam warung sebagai salah satu inspirasi untuk menemukenali ‘menguping’ perkembangan suasana lanskap budaya Yogyakarta melalui orang-orang biasa yang hadir di dalamnya. 

Pada penyelenggaraan FKY 2021 ini, empat orang Tim Riset ditugaskan bekerja membaca dan mencatat apa saja yang menjadi gerak-gerik budaya (pencatatan budaya). Gerak-gerik yang selama ini tidak tertampilkan, tidak tampak di permukaan, atau tidak terapresiasi melalui beragam hiruk-pikuk rutinitas presentasi acara seni budaya dalam kehidupan lanskap ini. Untuk itu, kami memberanikan diri menjinjing satu pertanyaan kunci: apakah kebudayaan Yogyakarta itu ada? Jika ada, bentuknya seperti apa dan bagaimana perkembanganya sekarang? Pertanyaan ini menjadi bekal yang dibawa dalam perjalanan bertugas menyusuri lanskap budaya Yogyakarta dan mempercakapkannya kepada orang biasa yang kami temui di dalam lanskap budaya tersebut. Ini merupakan perjalanan dan percakapan yang panjang, sebenarnya, tapi ya ndak papa. Kami akan mulai dengan satu per satu langkah kecil dan intens. 

Nah, mari kita mulai penjelajahan pengalaman reflektif ini dengan menyapa dan merengkuh sudut-sudut ruang hidup yang kecil‒yang sebenarnya memiliki kepadatan sosial budaya yang makin tinggi‒dengan isu-isu yang luas. Di dalamnya berlangsung pergulatan isu lokal, regional, hingga global yang bercampur aduk sejak kurun waktu lama.

Seperti kebanyakan orang menyetujuinya selama ini, benar adanya bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis. Kebudayaan adalah proses, di mana ia terus berkembang dan bergerak. Bagaimana dengan kebudayaan Yogyakarta? Terus bergerakkah? Seperti apa “rasa” yang terkembang di dalamnya? Terlebih pada situasi tahun belakangan ini, ketika terjadi perubahan mendadak berupa krisis pandemi atau pageblug. Semua orang menjadi seperti berada dalam situasi riuh rendah perlintasan informasi atau perbincangan dunia maya dan lorong sunyi dalam dunia nyata. 

Lalu, bagaimana dengan jiwa-jiwa orang biasa tadi? Apakah merasakan benturan hantaman ini? Selanjutnya, bagaimana mereka mengelola “rasa” yang mengalami timbunan dari masa sebelum krisis hingga menjalani krisis ini? Mampukah menemukan jalan keluar untuk ke depan? Pun dari peredaran berita terakhir yang muncul juga dalam celotehan-celotehan dunia maya, krisis ini masih belum usai. Masih butuh waktu dua sampai tiga tahun mendatang. Sesuatu telah terjadi dan terus akan berlangsung, yaitu kehilangan keakraban yang menimbulkan ketidakpastian. Nah, akankah jiwa-jiwa kebudayaan dari orang-orang biasa itu masih bisa tentram karena ayem ‘terayomi, damai’ bernaung di bawah omah ‘rumah’ kebudayaan Yogyakarta-nya?

Mari kita berangkat. Saya akan mengajak Anda untuk menemui satu per satu kawulo cilik ‘orang-orang biasa’, nyrawungi/srawung ‘berkawan dengan’ jiwa-jiwa pendukung kebudayaan Yogyakarta yang berada pada sudut-sudut ruang hidup yang kecil dengan isu-isu yang luas. Masih bisakah saya akan menemukenali gambaran konsep urip sing njawani dalam presentasi kehidupan sehari-hari pada ruang-ruang informal di Yogyakarta kini?

Sumpeg

Pada suatu pagi, saya kembali mendatangi Warung Pengkolan Pojokan 3B. 

Mak, njaluk es kopi, ro madang ramesan jeroan iso wae. Selak ngelih, je, Mak,“ kata saya, sambil berjalan masuk ke dalam warung. “Korane nengdi? Jare wong-wong iki mau ana berita sing gek rame?

Saya memilih duduk di kursi kayu panjang yang terletak di bagian dalam warung. Mulai mengangkat kaki jengkang ‘menaikkan posisi kaki berada di atas kursi’ dan menyambar piring sarapan ramesan. Sambil membuka-buka halaman koran lokal hari ini, saya mencari-cari berita terbaru yang membuat saya penasaran. Tepat di belakang sandaran kursi kayu panjang ini, terdapat dua buah luweng ‘tungku kayu bakar’ yang terbatasi oleh kerai bambu. Di atas dua lubang tungkunya sedang berlangsung proses menanak nasi menggunakan kukusan dan kenceng. Api tungku cukup besar dijaga oleh Pak’e (Agus Wahyudi, 68 tahun). Di samping kiri tungku tersebut bertumpuk empat ikat kayu bakar yang masih utuh tergeletak di atas tanah. Di dekatnya lagi, ada dua karung besar berisi arang kayu.

Sesaat kemudian, dari balik kerai bambu pembatas ruang itu atau tepatnya dari arah luweng, Pak’e telah bergeser melongokkan kepala dan menyapa saya, “Kok dingaren gasik kowe, Mas, ana rapat esuk pa?“

“Ho’oh. Ayo sarapan, Pak. Ngelih aku. Mau bengi lembur tekan meh subuh, je,” tukas saya sambil mulut mengunyah sarapan dan tetap sambil mencari-cari berita di lipatan halaman koran. “Iki mau dikabari koncoku, jare ana berita apik ning koran tentang Jogja ngono. Wis maca rung kowe Pak?”

Sambil kipasan menggunakan tepas anyaman bambu (benda ini juga dipakainya untuk meniupkan angin ke arah api dalam luweng agar api tetap menyala besar), dia beringsut untuk duduk di bangku kayu yang terletak di seberang saya berjarak sekitar 1,5 meter. Jadi, di bagian dalam warung ini ada dua meja makan panjang terbuat dari kayu yang dilapisi perlak plastik. Setiap meja makan panjang itu ditemani dua bangku kayu yang cukup untuk ditempati oleh 12‒16 orang bersantap bersamaan.

“Uwis maca. Tapi, saiki ki beritane macem-macem dan ora karuan. Endi sing metu seka handphone, seka koran, omongane wong-wong. Banjur ana apa kae nyebute, hoaks yoh? Marai wong bingung, endi sakjane sing bener. Nek wis ngono kuwi, gur marai sumpeg. Nek nggo aku lhoh. Aja gampang percaya, Mas. Kowe ki wong sekolahan, Je. Kudu ditelusuri tenan ben awake dewe ngerti sing sak benere piye,” katanya menimpali pertanyaan saya tadi.

Saya meletakkan koran di pojok kursi karena tiba-tiba merasa ada hal menarik dari ucapannya tersebut: piye kuwi sumpeg?...menarik...piye maksude? Ketika mendengar ucapan kata sumpeg, saya terbayang makna ruang dan tempat. Ini sepertinya penting sekali. Saya beringsut menegakkan posisi duduk. Meletakkan piring yang telah kosong di atas meja samping, saya berganti nyaut gelas es kopi dan menyalakan rokok. Saya mulai menatap percakapan tentang sumpeg ini. 

“Critakno, opo artine sumpeg?” Sepenuhnya konsentrasi saya menjadi mengarah ke situ. Percakapan ini pasti akan berkembang seru. 

“Hayo sumpeg. Kan kabeh mlebu ning awake dewe, ya, njuk kekebaken. Rasane mubal-mubal, ya ra. Tapi ora gur kuwi. Jaman saiki wis akeh sing kuwalik-walik. Nek urip ning kampung kan wit mbiyen wis biasa gotong royong kerja bakti. Nah, saiki jebul kan jenenge digenti dadi apa kae, padat karya yoh? Bener. Lha kok wingi-wingi rung suwe, gur ngecor dalan gang RT wae ora gelem bareng-bareng. Material isih turah. Lha, kok ra gelem dibablaske tekan nggon RT-ku. Jarene, karena mlebu RT-ku, ya kudu nganggo anggaran padat karya ne RT-ku dewe. Mosok apa RT-ku dewe, RT-mu dewe. Woalah, gur barang pasir ro semen wae isa marai gegeran, udur padu. Kuwi ya jenenge ‘sumpeg’. Ora kaya mbiyen, urip ning kampung iku ayem, gotong royong ya digarap dirampungke nggo kabeh. Ora usah nganggo bates-batesan RT-ku RT-mu. Wong perkara dalan ki nggo umum, je. Piye nek ngono kuwi? Lak soyo ora karuan ta jaman saiki iki. Kuwi yo disebut sumpeg.”

“Oh, ngono, ya?” sahut saya. Masih merasa heran dalam hati dan semakin penasaran.

Kata-kata dalam bahasa Jawa ngoko itu asik. Memang, terkadang dalam satu kata itu bisa mewakili arti dan makna yang tidak tunggal. Ketika coba diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti ada yang kurang lengkap terangkut seluruh makna dan atmosfernya. Seperti kata sumpeg tadi, makna yang pertama bisa jadi berhubungan dengan ruang dan tempat fisik, yaitu suatu ruang yang berisi banyak benda atau orang sehingga saat berada di dalam kepadatannya, kita merasa terjebak penuh sesak dan tidak bisa bergerak bebas lagi. Namun, bisa juga memiliki makna kedua berupa hal yang berhubungan dengan ruang dan tempat nonfisik, yaitu suatu ruang dalam pikiran atau hati atau perasaan diri kita yang mendadak terisi gelontoran timbunan aneka rasa/selera yang berjejalan hingga seperti tinggal sedikit lagi saja, maka akan meluap dan tumpah meluber sehingga diri kita merasa sesak/susah bernafas, tidak longgar/ngos-ngosan.

“Iso ditambani ora sumpeg kuwi?“

“Hayo ora ana obate, tapi ana tambane.“

Mendadak telepon genggam saya berbunyi. Ada panggilan masuk. Saya terima panggilan itu sejenak dan mendengarkan lawan bicara di seberang sana. Lalu, saya menutup telepon. Menenggak habis es kopi yang tersisa.

“Asemik! Sik, ya, Pak. Aku tak minggat ndisik. Aku wis digoleki kancaku. Tapi apik iku mau, sing tentang sumpeg. Menarik. Suk tak mampir maneh. Suk, kita teruske, yoh.”

“Yoh, kana mangkato. Kana mbutge sik.”

“Mak, aku entek pira, madang ro es kopi?”.

“Kaya biasane. Sing pas wae.”

Saya lekas membayar dan bergegas keluar warung. Lalu, beranjak pergi meninggalkan tempat.

Juweh

Beberapa hari kemudian, di siang yang panas terik saya kembali mampir ke Warung Pojok Pengkolan 3B. Saya kembali duduk di kursi panjang yang sama dengan segelas es kopi dan piring yang tinggal berisi separuh. Sepertinya, saya agak lumayan kelaparan sehingga cepat sekali menu ramesan jeroan babat ini berpindah ke dalam perut saya. 

Siang ini Pak’e juga sudah santai, duduk rileks di bangku panjang di seberang saya sambil kipasan menggunakan tepasnya lagi. Sepertinya, dia baru saja merampungkan tugas menanak nasi kloter kedua. 

“Ayook, teruske critane winginane kae. Perkara sumpeg kae,” sahut saya memancing untuk membuka ulang sambungan percakapan tempo hari. Meletakkan piring kosong. Minum es kopi. Menyalakan rokok pertama.

“O ngono. Saiki, ya isih sumpeg. Malah tambah padet ngono, je. Padahal nek awake dewe nyawang njaba, kan dalan-dalan gek longgar sepen, ora okeh wong liwat. Sepi. Tapi sakjane rasane tambah padet, akeh sing kudu dipikirke lan kudu dicepake, ngoyake butuh. Butuh kuwi kan tetep kudu dianake, ya ra?” 

Saya biarkan dia terus bercakap, sambil saya melirik sedikit ke lipatan halaman berita seputar olahraga sepak bola liga Inggris. Liverpool memenangkan pertandingan.

“Saiki aturane pembatasan. Wong-wong jogja kuwi sakjane apik, lho. Mereka ki manutan, isa gelem ngikuti aturan. Timbangane liyane sing kono-kono kae, malah pada ngeyil, regudukan. Rasakno dewe yen suk pada positif kabeh.”

“Ora entuk waton ngawur. Cobo saiki piye rasane sing isoman kae. Ha... ya mesti sumpeg mbanget. Ha, sing biasane wong lungo wara-wiri, glidik nyambut gawe, isa seneng weruh pemandangan liya. Saiki, gur dikon mandeg ning njero omah, ora ngopo-ngopo. Mesake ya ra? Mesake tenan.“

“Winginane ki sempat ning kampung, tonggo sak-ubengan omah ku kuwi ngerti-ngerti entuk kabar jarene pada positif, tapi ringan. Ha njuk isoman dewe-dewe, gentenan meh urut ngono. Pas wingi angkane Jogja gek duwur banget ewon terus kae.“

Saya tenggak es kopi di gelas dan menyalakan rokok yang kedua.

“Piye-piyeo kae, meski Aku ro Mak’e wis suntik vaksin ping pindho, kan ya dadi ndredeg wedi ta. Lha cerak banget, je. Tapi, anakku wedok njuk juweh, gatekan crewet ra kesel ngandani. Aku ro Mak’e kudu ra entuk kesel, ora oleh dolan nonggo sikik. Nek mangkat ning warung, ya liwat wae bablas. Kudu nganggo masker terus. Ora usah ngarep-arep bantuan, kudu njaga awake dewe. Crewet tenan dadian anakku sing wedok. Yok arena dia kan ya mbutge perawat, ya. Tak rasake, kok kayane kaya tambah repot. Tapi aku ro Simak ya manut wae. Terbukti, tekan saiki aku bejane ya ora kemudian ketularan positif. Aman. Yak’e, selain manfaat vaksinne, koyone ditambah anak wedok sing njuk juweh iku mau mergane. Njuk, marai aku tertib prokes ya, Mas?”

Pak’e dan Simak’e ini memiliki dua orang anak kandung, pertama laki-laki dan kedua perempuan. Anak pertama sudah menikah dan mempunyai anak pertama laki-laki.

“Woh, apik kuwi. Tak tekon maneh saiki. Apa juweh iku mau adalah solusi, ben isa lolos seko sumpeg, ngono pa?”

“Ya, isa wae. Sumpeg iku lak gur perkara bundet dewe. Padet ning njero awake dewe. Tumpuk-tumpuk, kebak, abot. Ya, kudu gelem juweh. Crewet ngelingke. Gatekan apa wae. Misal, ya juweh ngelingke sing isoman, kudu sabar, ben isa mari maneh. Ya, kudu juweh karo apa wae. Aku kudu nganggo masker, kudu sering cuci tangan nganggo sabun, ora usah ngoyo kekeselen. Ngematke kondisi awake dewe ben weruh ro waspada. Nek njuk juweh, kan isa nata lan temata. Ha, njuk penak rasane maneh, ora sumpeg. Ngono. Ya, isa wae nek rep mbok kira ngono kuwi. Kayane bener. Aku setuju.”

Tetep Kudu Ngopeni Geni, Ben Awake Dewe Tetep Urip 

“Nah, nek saiki wis juweh, tapi kahanan tetep durung rampung-rampung. Malah isih diulur dawa maneh. Jare tekan rong tahun engkas. Hayo, njuk kudu kepiye nek ngono kuwi?”

“ Yo isa wae ta, Mas. Ngene, awake dewe kudu isa nampa kahanan. Dawa ya ben. Wong Pak Jokowi ro Pak Sultan mesti karepe apik. Mesti mikir piye carane nylametke rakyate ben tetep pada sehat kabeh, ta. Ra mungkin Pak Jokowi mikir elek nggo rakyate. Mereka ki wong pinter-pinter kabeh, je. Nah, saiki nek kaya aku ngene iki gur bakulan sega. Ya, tetep kudu ngopeni genine, ya wani maro. Nek mbiyen dodolan isa pol, saiki separo wae, maro. Nek adang sego sak cukupe wae. Nek wis entek, yowis kukut mulih. Sesuk bukak maneh. Ya, warung kudu tetep buka. Raisa nek gur anteng ning ngomah wae. Mbangane diparani sumpeg kuwi mau. Ora kaya biasane, ra papa. Lha, isih sepi wong ning ndalan. Nek jam loro awan wis entek, ya uwis tutup wae, rasah masak sega maneh. Ngetutke kahanan wae. Waspodo.“

Jalan Kultural untuk Mengelola Kepadatan Sosial: Belajar dari (Pinggiran yang di Pusat) Lanskap Budaya Yogyakarta

Dari orang-orang biasa di atas tadi, saya mendapatkan sebuah pengalaman reflektif yang penting. Nompo kahanan (acceptance atau menginsafi diri dengan penuh kesadaran) merupakan prasyarat untuk mendapat pijakan kokoh dalam mengelola situasi krisis yang tengah berlangsung sekarang. Dengan menginsafi sumpeg, maka untuk menemukan jalan keluarnya adalah dengan juweh (konvergen) terhadap guliran dinamika internalisasi norma (protokol kesehatan dalam pandemi) yang ditularkan dalam keluarga dan komunitas. Dibarengi tindakan tetep kudu ngopeni geni (kontinu) Warung Pojok Pengkolan 3B dengan cara wani maro (konsentris). Tetap menampilkan resep cita rasa kelezatan rames berkualitas maknyus kepada publik luas yang melintas jalan Yogyakarta agar mereka semua bahagia. 

Satu kisah gambaran tentang jalan kultural orang-orang biasa dalam menjalani krisis (bencana pandemi, erupsi gunung api, gempa bumi, keresahan sosial, perubahan budaya, krisis kemanusiaan, dan sebagainya), pola adaptasi di situ bisa tampak berlangsung sedemikian efektif dan berbasis lokal. Orang-orang biasa tersebut mampu mengambil tindakan lokal dan percaya kepada kemanjurannya, serta menginisiasinya sendirisehinggakebudayaan ala orang-orang biasa itu adalah kemenangan atau hasil perjuangan hidup (buah budi) manusia.

Selepas siang yang biasa di Lekker Je, gelas es kopi di meja kayu bundar ini belum lah kosong ketika kemudian telepon genggam kembali berdering, ada panggilan masuk. Sekilas saya mengamati suasana luar, ternyata langit menjelang sore ini sangat cerah. Bergegas saya berdiri, mengarah ke pintu keluar, dan beranjak terbang meninggalkan tempat untuk melanjutkan perjalanan ke percakapan panjang berikutnya.

Referensi:

# "Karja KI HADJAR DEWANTARA, bagian II A : Kebudajaan", oleh Panitia Penerbitan : Moch. Tauchid dkk, 3 Djuli 1967, Jogjakarta : Madjelis Luhur Persatuan Taman-Siswa.

Cerita Lainnya