Bertahan dalam
Tempaan Zaman

Logam merupakan salah satu bahan utama pembuatan peralatan yang digunakan untuk menunjang kehidupan manusia. Pengolahan logam sudah dilakukan sejak berabad-abad lalu hingga melahirkan pengetahuan metalurgi.

Secara singkat, metalurgi adalah ilmu yang mempelajari unsur-unsur logam, senyawa antarlogam, dan teknik memanfaatkan logam dalam kehidupan sehari-hari.

Prasasti kuno menggambarkan adanya pengkhususan pekerjaan yang berkaitan dengan logam, yaitu pandai besi. Dalam prasasti masa Hindu-Buddha, spesialisasi pekerjaan ini memiliki beberapa sebutan, di antaranya pande wsi dalam prasasti Watukura 824 Saka (902 Masehi) dan mapandai wsi dalam prasasti Waharu I 795 Saka (873 Masehi).

Pandai besi memegang peranan penting dalam masyarakat Jawa kuno. Pekerjaan ini menunjang kehidupan perekonomian masyarakat melalui pembuatan peralatan pertanian. Kehadiran pandai besi juga sangat dibutuhkan di dalam kerajaan, salah satunya adalah membuat alat perang untuk memperkuat sistem pertahanan. Peran penting ini membuat banyak pandai besi dulunya tinggal di dalam kerajaan atau di sekitar pusat pemerintahan.

Besi menjadi bahan yang memiliki ketahanan tinggi, terutama terhadap gerusan waktu. Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan keberadaan para pekerjanya sekarang. Pergeseran peran dalam kehidupan masyarakat dan gempuran perkembangan zaman melalui teknologi modern mengakibatkan banyak pandai besi tak dapat bertahan. Mereka yang sanggup bertahan rata-rata adalah generasi penerus yang telah mewarisi keterampilan mengolah logam besi ini.

“Dulu di sini [area kota] masih banyak pandai [besi]. Di Nglarang ada, Gedongkuning ada. Sekarang sudah tidak ada karena tidak ada yang nerusin. Tinggal di sini tok,” tutur Ramijo (40). Ia merupakan pemilik usaha pandai besi yang terletak di daerah Kalibayem, Jalan Wates, atausekitar tiga kilometer sebelah barat Titik Nol Yogyakarta. Pandai besi milik Ramijo merupakan satu-satunya usaha yang tersisa di dekat area perkotaan. Pandai besi lain yang masih bertahan kebanyakan berlokasi di sekitar pasar tradisional, contohnya di daerah Pasar Jodog, Bantul. 

Ramijo menjadi salah satu generasi penerus pandai besi di keluarga. Leluhurnya mulai menekuni profesi ini dengan mbabat alas (membuka usaha) di daerah Wedi, Klaten. Profesi ini kemudian dilanjutkan oleh Kakek Ramijo dengan membuka usaha di Yogyakarta yang masih bertahan hingga sekarang. 

Ramijo sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan listrik setelah tamat dari sekolah menengah kejuruan (SMK). Baru sekitar empat tahun lalu, ia mulai meneruskan usaha pandai besi milik mendiang bapaknya. Berbekal pengetahuan dan keahlian yang sudah ia pelajari sejak dini, Ramijo memantapkan hati melanjutkan profesi ini.

Pandai besi dalam trah keluarga Ramijo masih berlanjut hingga sekarang karena profesi ini diwariskan secara turun-temurun. Meskipun anak Ramijo memiliki ketertarikan di bidang lain, tetapi darah pandai besi masih mengalir dalam dua keponakannya, Ahnaf (17) dan Andika Jati (8). Ahnaf masih menempuh pendidikan di sebuah SMK jurusan otomotif di Bangunjiwo. Sejak kelas satu SD, Ahnaf mulai mengikuti kakeknya (bapak Ramijo) untuk belajar mengolah besi. Kemudian, ketika duduk di kelas lima SD, Ahnaf sudah mulai membantu kakeknya mengerjakan pesanan orang.

Pada usia yang masih sangat muda, Ahnaf memiliki harapan agar kelak dapat melanjutkan dan mengembangkan usaha yang sudah menjadi warisan keluarga ini. Hadirnya sosok penerus dalam usaha pandai besi menjadi kunci utama mempertahankan keberadaan kelompok kerja spesialis ini. Beruntung, di dalam trah Ramijo setidaknya ada pewaris yang akan terus mengasah bakat dan keterampilan mereka dalam mengolah besi guna menjadikan profesi ini tetap lestari. 



Foto dan Teks : Rangga Yudhistira

Asisten Fotografer : Irene Sonia

Cerita Lainnya