Indonesia Graveyard



“Saya nih orangnya penakut, enggak berani ke kuburan sendirian, makanya saya butuh teman-teman saya untuk telusur kuburan bareng-bareng,” ujar Ruri saat melakukan aktivitas telusur area pemakaman di kawasan Makam Sewu, Bantul. Semuanya berawal dari ketertarikannya mengunjungi makam-makam Belanda di Jakarta bersama seorang temannya. Sekembalinya ke Yogyakarta, Ruri masih melakukan aktivitas lamanya bersama teman-teman baru yang ia temui di internet melalui akun Instagram Indonesia Graveyard.

Medium Instagram menjadi platform utama Ruri untuk menemukan teman-teman yang memiliki ketertarikan sama terhadap sejarah makam-makam kuno. Dari medium Instagram juga, mereka saling bertukar informasi terbaru tentang sejarah ataupun penerjemahan aksara jawa kuno, pegon, atau han yang terdapat pada nisan makam. Tak hanya aksara, bentuk nisan tiap makam yang mereka temui juga memiliki karakteristiknya sendiri. Secara tidak langsung, pengetahuan yang selama ini tidak begitu familiar di masyarakat dapat mereka diskusikan bersama. Latar belakang mereka bukanlah sejarawan ataupun filolog, tetapi penggemar baca aksara dan pengulik cerita kehidupan seseorang di masa lalu melalui makam. Mereka percaya bahwa yang mati masih terus hidup bersama sejarahnya dan permakaman jadi salah satu medium untuk mengulik sejarah.

Tidak ada pembahasan yang mengarah ke hal-hal klenik selama aktivitas telusur/bebersih makam bersama mereka. Sejauh ini, mereka memilih aktivitas bebersih pada makam-makam yang unik, tak terawat, atau bong Cina yang sudah tak diketahui lagi keturunannya. Lokasinya pun bukan di area pemakaman pada umumnya. Terkadang mereka menemukannya berdampingan dengan rumah warga. Pertimbangan khusus pemilihan makam yang dibersihkan adalah karena tidak ada orang yang mengurusnya, jika dibanding makam-makam Jawa yang memiliki juru kunci atau lokasinya berada di area pemakaman umum.

Bermodal sapu lidi, arit, dan parang yang dibawa dari rumah masing-masing, mereka membersihkan makam yang awalnya tidak terlihat jelas sampai tampak struktur bangunannya. Pengalaman bertahun-tahun bersinggungan dengan makam membuat mereka hafal dengan desain arsitekturnya. Bahkan, mereka akan mengidentifikasi jenis material yang digunakan dalam sebuah makam, apakah bahannya dari batu, semen, kayu, atau porselen. Terkadang jumlah uang yang harus dikeluarkan dalam membuat satu permakaman pun menjadi salah satu bahan diskusi mereka selama telusur/bebersih makam.

Tempat menongkrong favorit mereka ada di Makam Bah Dhe Pok (Gunung Sempu) dan Sumir, Sewon. Biasanya setelah berkegiatan, mereka akan mampir membeli beli es teh di warung yang berada di pelataran pemakaman. Sekedar melepas penat sambil berbincang santai atau berdiskusi tentang makam yang baru saja dikunjungi. Informasi mengenai sejarah Jawa biasanya akan banyak ditanyakan kepada salah satu anggota termuda yang memiliki wawasan paling mumpuni. Mereka memberinya julukan “EmirPedia” sebab setiap pertanyaan mengenai asal-usul atau tokoh sejarah akan dijawabnya dengan baik.

Terkadang ada followers dari Indonesia Graveyard yang mengirim pesan melalui Instagram untuk meminta bantuan mencari makam leluhurnya yang belum ditemukan. Mereka mengirimkan data atau dokumen mengenai profil leluhurnya, mulai dari nama lengkap hingga darah keturunan, profesinya saat masih hidup hingga kisah kematiannya, apakah korban dari sebuah perang zaman Jepang atau jauh sebelum itu. Semua adalah teka-teki yang menjadi salah satu motivasi Ruri dan kawan-kawannya untuk merunut sejarah.

“Bagi kami, nisan bukan hanya sebuah penanda makam, namun sebuah keindahan dan nilai budaya yang terekam dari masa silam.”

Foto & teks: Gevi Noviyanti
Editor foto: Kurniadi Widodo

Pelaku budaya: Ruri, Adnan, Abdi, Maya, Emir, Lei, Babon, Wawan.

Instagram: indonesia_graveyard

Cerita Lainnya