Mamuk Rahmadona
Bukan Tukang Rias Biasa

Mamuk Rahmadona, pria perias pengantin kelahiran Blitar ini sudah hampir sepuluh tahun bergelut di dunia tata rias. Ia kondang sebagai perias pengantin Paes Ageng yang berdomisili di Yogyakarta.

Tak hanya berprofesi sebagai perias, pria ini juga aktif dalam Paguyuban Perias Putra Yogyakarta (PaPPY). Paguyuban ini menjadi wadah melawan stigma, sekaligus bukti perias pengantin putra ternyata banyak dicari pelanggan. 

Mamuk berlatar belakang keluarga seniman dan ibunya juga seorang perias. Ia merupakan sarjana pendidikan tari. “Aku tuh dari kecil sering bangetdidandani ala perempuan sama Ibu kalau pas nari. Emang jiwa keperempuananku tuh tinggi banget dari dulu,” tutur Mamuk menceritakan masa kecilnya. Ia memiliki ketertarikan lebih pada tata rias sejak di tingkat SMA. Tata rias menjadi salah satu mata pelajaran favoritnya di sekolah. ‘’Pas SMA sampe kuliah, kalau ada mata pelajaran tata rias, aku semangat banget dan prakteknya maksimal. Apalagi dulu pas jaman kuliah, kalo ada temen-temen yang ujian tari, pasti aku bantuindandanin mereka. Itung-itung latihan dan lumayan, namanya anak kos, pulangnya dapet nasi bungkus,’’ ujarnya sambil tertawa renyah.

Ketika sudah merasa cukup dengan dunia tari, ia memutuskan untuk menggeluti profesi sebagai penata rias Paes Ageng. Tak mudah bagi Mamuk sebagai seorang laki-laki untuk mendapat kepercayaan merias pengantin dengan adat Jawa. Sekitar tahun 2000-an, saat perias pria belum sebanyak sekarang, ia mengalami banyak tantangan. 

“Apakah aku harus menjadi perempuan supaya aku bisa lebih dihargai ketika menjadi perias pengantin?” sebuah pertanyaan reflektif yang diutarakan Mamuk Rohmadona ketika menceritakan awal mula karirnya sebagai perias pengantin. 

Selain bersolek diri, aktivitas merias juga identik dengan perempuan. Mamuk mencoba menghilangkan stigma tersebut, termasuk anggapan bahwa perias perempuan lebih baik dibanding perias laki-laki. Hal-hal itulah yang memotivasi Mamuk untuk terus belajar teknik dalam merias wajah. “Dulu pas masih kecil, adikku yang sering jadi bahan percobaan, terus pas SMA aku sering dandanin Mba Imah (Soimah) yang kebetulan teman satu kosanku. Aku cobain macem-macem gaya rias buat dia setiap dia manggung,’’ ceritanya kemudian. Saat ini, studio Mamuk yang terletak di daerah Sewon tak pernah sepi calon pengantin yang ingin dirias layaknya ratu kerajaan di momen sakral mereka.

Mamuk bisa dibilang sebagai salah satu pakar Paes Ageng. Ia memahami betul sejarah dan tradisi tata rias asal Keraton Yogyakarta ini. Lewat PaPPY dan kelas privat yang ia buat, Mamuk membagikan ilmu tata rias tradisi ke siapa pun yang ingin belajar Paes Ageng dengan benar.

Paes Ageng terkenal akan keindahan dan kerumitannya, tapi juga sarat akan pakem dan makna filosofi yang bermuara pada kesakralan kehidupan berumah tangga. Teknik rias yang detail seperti dalam menggambar paes atau cengkorongan harus presisi dan tepat ukurannya sesuai pakem yang ada. Rias pengantin memiliki filosofi yang melekat pada tatanan dari ujung kaki hingga ujung kepala. 

Pada mulanya Paes Ageng hanya boleh dilakukan oleh keturunan dan kerabat kerajaan. Tata rias ini hanya dikenakan oleh para putri dalem Sri Sultan, sedangkan masyarakat biasa di luar keraton mengenakan tata rias pengantin Yogya. Semenjak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono ke-IX, beliau mengizinkan masyarakat umum untuk mengenakan riasan Paes Ageng di pernikahan mereka. Mamuk menjelaskan jika di Keraton Yogyakarta, perias putra tidak memegang pengantin putri karena ruangannya berbeda. Pengantin putri dipegang oleh perias putri, sementara perias pengantin putra biasanya membantu mengenakan ageman (baju) untuk pengantin putra.

Konon ada tirakat atau ritual yang kerap dilakukan para perias pengantin sebelum menorehkan riasan, seperti membaca mantra-mantra tertentu atau menyiapkan beberapa sesaji. Ritual-ritual ini kabarnya disematkan pada perias pengantin perempuan yang biasanya berpuasa terlebih dahulu agar badannya “bersih”. “Kalo aku sih enggak ada baca mantra atau ritual lainnya. Sesuai kepercayaanku, pokoke bismillah wae, misal mau gambar alis, bikin paes, atau bikin riasan lainnya.” ujarnya sambil memperagakan gerakan cara menggambar alis.

Walau saat ini lebih banyak melakukan aktivitas sebagai perias pengantin, Mamuk tak begitu saja meninggalkan dunia tari yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Ia sesekali menari membawakan karakter drag queen. Ia terlibat aktif dalam Opera Kabaret yang diselenggarakan salah satu tempat hiburan di kawasan Malioboro, Raminten Cabaret Show. Mamuk juga tergabung dalam orkes dangdut Makcincers sebagai seorang biduan. Orkes ini memainkan lagu-lagu dangdut dengan gaya drag queen saat tampil. Riasan tebal dengan gincu merah, rambut dibalut wig pirang panjang, serta gaun malam yang anggun dan menggoda menyempurnakan dirinya di atas panggung.

Fotografer : Gevi Noviyanti

Asisten fotografer: Risna Anggaresa

Editor foto: Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya