Acaraki:
Penjaga Tradisi Meramu Jamu

Jamu adalah doa sehat. Kata ini merupakan akronim dari bahasa Jawa, jampi yang berarti doa dan usodo yang berarti kesehatan. "Tamba teka, lara lunga" merupakan ucapan doa yang dipanjatkan oleh peminum jamu.

Jejak pengobatan warisan leluhur ini dapat ditelusuri mulai dari masa prasejarah. Batu pipisan (alat untuk menghaluskan biji-bijian dan tanaman) yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta menjadi bukti bahwa manusia purba memanfaatkan tumbuhan sebagai obat.

Relief di dinding Candi Borobudur menggambarkan bahwa pada tahun 722 Masehi Karmawibhangga mempunyai kebiasaan meracik obat dari dedaunan pohon kalpataru. Setelah budaya tulis semakin kuat, pemanfaatan tanaman obat dapat ditemukan di beberapa naskah kuno. Serat Primbon Jampi Jawi yang ditulis sekitar abad ke-18 pada masa Hamengkubuwono II menjabarkan mengenai daun, rimpang, akar, dan kulit kayu dari berbagai jenis tanaman yang diolah secara tradisional untuk mempertahankan kecantikan dan kebugaran. Empu Monaguna, penulis abad ke-13, dalam Kakawin Sumanasantaka menuliskan kehidupan pertapa dan rahib perempuan yang masuk ke hutan untuk mengumpulkan tanaman sebagai bahan obat. 

Awalnya, jamu di Jawa hanya dikenal dalam lingkungan istana. Resep jamu para raja sempat dilarang keluar dari keraton. Namun seiring perkembangan jaman, orang-orang di lingkungan keraton mulai mengajarkan cara meracik jamu kepada masyarakat luar keraton. Pada era Mataram Islam, muncul para wiku (orang pintar atau tabib) yang mahir membuat ramuan dari tanaman dan dijajakan dengan cara dipikul oleh laki-laki dan digendong oleh perempuan. 

Julukan untuk peracik jamu pada zaman Majapahit adalah acaraki. Mereka menulis dan menurunkan tradisi pembuatan jamu hingga lintas generasi. Sebagai contoh, pembuatan jamu segar seperti beras kencur dan kunir asem, hingga jamu untuk melancarkan haid, pegal linu, masuk angin, batuk, dan galian kakung.

Pada tahun 1930, Paku Alam VII mengijinkan Mbah Bilowo, seorang acaraki keraton untuk mengenalkan jamu ke masyarakat umum. Mbah Bilowo adalah penerus Mbah Joyo tan Genggang, tabib dan abdi dalem yang dipercaya membuat jamu untuk keluarga Kadipaten Pakualaman. Setelah beberapa waktu berjualan di emperan dan keliling, Jamu Ginggang pada tahun 1950 menempati bangunan yang tak jauh dari Masjid Gedhe Pakualaman Yogyakarta. 

Jamu Ginggang semakin populer saat dikelola oleh Mbah Puspo Madya. Budi Darmo sebagai generasi keempat kemudian meneruskan bisnis dengan berinovasi membuat warung jamu layaknya kafe. Di tangan Rudi Supriyadi sebagai generasi kelima, nuansa nostalgia warung tempo dulu, kebiasaan menongkrong pelanggan, daftar menu, bahkan resep ramuan Jamu Ginggang tak berubah. Seluruh bahan rempah masih digiling, ditumbuk, dan digerus secara tradisional menggunakan alat batu yang digunakan generasi sebelumnya. Para pegawai seluruhnya adalah perempuan. Mereka telah bekerja di tempat ini sejak remaja dan mendapatkan pelatihan langsung dari Mbah Puspo. Jamu Ginggang empat tahun lagi genap berumur empat abad, dengan manis menanti pengunjung yang setia berdatangan. 

Di Jalan Brigjen Katamso No. 123 terdapat jamu cekok kerkop Jampi Asli yang eksis sejak 1875. Jamu cekok adalah ramuan penambah nafsu makan untuk balita usia 8 bulan hingga 2 tahun. Jamu cekok ini berbahan dasar temulawak, puyang, temu ireng, temu giring, kunir, dan rempah-rempah pilihan lainya. Istilah cekok merujuk pada cara memaksa meminumkan jamu dengan diperas langsung ke dalam mulut. Orang yang mencekok melakukannya dari belakang, sebuah strategi supaya si anak tidak langsung menangis. 

Di warung Jamu Jampi, para orang tua dapat meminta campuran ramuan obat herbal lain berdasarkan keluhan anak, seperti flu, batuk, atau pilek. Tak hanya jamu cekok, mereka juga menyediakan sekitar 25 jenis racikan jamu kesehatan. Keempat pegawai seluruhnya perempuan dan memiliki ikatan keluarga. Mereka mewarisi resep jamu dari ibu mereka yang juga pernah bekerja puluhan tahun di Jamu Jampi dan juga masih menggunakan lumpang batu yang berumur setua warung ini. Dari ruang selebar 1 meter, Jamu Jampi telah mewariskan tradisi cekok selama 146 tahun. Racikan jamu turun temurun tak pernah berubah dari generasi pertama, kakek KRT Kerto Wiryo Raharjo, hingga Joni Wijanarko sebagai generasi kelima.

Tak jauh dari Jamu Jampi, terdapat warung jamu tradisional Jawa Lugu Murni yang berdiri sejak 1953. Tempat ini dikelola oleh Ibu Sri Bangun Setyaningsih diwariskan ibunya. Saat masuk, terlihat ratusan tanaman obat tersimpan rapi dalam toples-toples. Di Lugu Murni, kita dapat menemukan mulai dari akar, rimpang, batang (termasuk kulit batang), daun, bunga, buah, kulit buah, hingga biji buah. Selain itu juga terdapat tanaman brotowali, daun mahkota dewa, rimpang-rimpang, serta jahe merah.

Sebelum mewarisi Lugu Murni, Ibu Sri telah sukses membangun bisnis modiste dan katering. Kedua bisnis tersebut ia tinggalkan saat mulai menemukan kecintaan pada minuman herbal. Ia mengikuti berbagai kursus di berbagai kota untuk mendapatkan pengetahuan terbaru mengenai tanaman obat. Bahkan, Ibu Sri hafal di luar kepala semua manfaat dari setiap tanaman koleksinya. Maka tak heran, jika bertandang ke Lugu Murni, pelanggan akan diminta menjelaskan keluhan penyakitnya agar mendapat racikan jamu sesuai kebutuhan. Banyak penderita kanker ataupun wanita yang sulit mendapatkan keturunan datang ke Lugu Murni. Dari mulut ke mulut, keahlian Ibu Sri populer hingga luar kota. 

Selain warung jamu, para penjual jamu gendong juga memiliki peran penting dalam mempromosikan jamu sebagai minuman lokalitas budaya Jawa. Dalam sejarahnya, mereka menyebar ke seluruh pulau Jawa, Bali, sebagian Sumatra, dan beberapa daerah sekutu kerajaan Majapahit. Mereka membuat keseragaman konsep dan pakem pedagang jamu di Indonesia. 

Para pedagang jamu gendong biasanya membawa jamu sejumlah delapan jenis. Jumlah ini merepresentasikan konsep delapan arah mata angin sekaligus salah satu lambang surya, Majapahit ri Wilwatikta. Delapan jenis jamu tersebut adalah kunir asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup/gepyokan, dan sinom. Ini sesuai dengan urutan ideal dalam meminum jamu yang dimulai dari manis, asam, sedikit pedas, hangat, pedas, pahit, tawar, hingga manis kembali. Jika dikaitkan dalam hidup, urutan ini memiliki makna filosofis tersendiri. 

Bu Tum adalah salah satu pedagang jamu gendong yang telah berjualan hampir selama 50 tahun. Di masa mudanya, ia menjajakan jamu dengan berkeliling kampung Jogoyudan. Menginjak usia tua, ia memilih untuk menetap di depan salah satu warung di Jogoyudan. Bu Tum mulai berjualan dari pukul 3 sore hingga 7 malam. Ia setia meracik jamu bagi pelanggannya yang didominasi anak-anak. Kerap kali anak-anak ini meminta jamu untuk diminum lewat wadah tempurung kelapa. Bu Tum mewarisi resep jamu dari ibunya yang juga berprofesi sama. Ia pun mengajarkan cara membuat jamu kepada anak perempuannya dengan harapan suatu hari anak perempuannya akan meneruskan keterampilan ini.

Proses pewarisan resep memang lumrah dilakukan dengan menarik garis keturunan dari pihak perempuan. Jika tidak ada keturunan perempuan, mereka akan mewariskan pada menantunya. Seperti Ibu Sri, para acaraki harus mengenal satu-persatu bahan baku yang akan digunakan, mulai dari rasa, aroma, takaran bahan baku, hingga khasiatnya. Berbeda dengan kursus yang diikuti Ibu Sri, proses pewarisan resep warung jamu lebih banyak bersifat informal. Umumnya mereka belajar dari nenek atau ibunya secara lisan maupun praktik. Terkadang butuh hingga setahun untuk benar-benar terampil sebab proses peracikan jamu tak semudah meneguknya. Ada proses panjang yang membutuhkan keterampilan, kesabaran, dan ketenangan pembuatnya. 

Trah acaraki Yogyakarta yang bertahan hingga saat ini tak banyak. Namun berkat mereka sebagai penjaga tradisi dan pengetahuan kesehatan tradisional, kita dapat terus menikmati jamu.

Foto & teks: Amal Purnama

Editor foto: Kurniadi Widodo

Cerita Lainnya