Dapur Wonocatur,
Maria Uthe,
dan Tactic

Dapur Wonocatur, Maria Uthe, dan Tactic adalah tiga Carik Dapur yang diundang untuk saling mencatat proses dan membagikan hasilnya dalam sebuah pameran. Carik Dapur merupakan salah satu skema dalam program pameran FKY 2021 yang mengundang orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berdialog, mencatat pengalaman, dan membuat karya berdasarkan pencatatan tersebut.

Dapur Wonocatur merupakan salah satu dapur umum yang pernah beroperasi di masa awal pandemi pada bulan Maret hingga Juni 2020. Lokasinya berada di tengah permukiman pemulung di pinggir area ringroad timur. Dapur ini pernah memasak makanan hingga 100 porsi setiap harinya. Jumlah penghuni di permukiman ini berkisar antara 50 hingga 60 orang. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Penyebab utamanya adalah mereka tidak memiliki rumah atau tempat tinggal permanen.

Persoalan KTP mengakibatkan mereka mengalami banyak kesulitan. Bantuan sosial pemerintah tidak pernah sampai ke tangan mereka karena distribusinya mengandalkan aparatur desa seperti RT/RW. Sebagai warga yang tidak tercatat di RT mana pun, mereka tidak terdaftar sebagai penerima bantuan pemerintah. 

Dapur Wonocatur beroperasi dengan dukungan dana dan tenaga yang didapatkan dari individu atau kelompok yang bersolidaritas terhadap pergulatan hidup para pemulung. Namun, dapur ini sekarang sudah tidak lagi beroperasi. Beberapa kali bantuan makanan masuk dan kegiatan bermain/belajar anak-anak berlangsung di Wonocatur. Namun, Wonocatur maupun permukiman informal lainnya akan terus membutuhkan akses untuk penghidupan yang layak, termasuk fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sampai hal ini dapat diwujudkan oleh para pemangku kebijakan, warga tanpa kartu identitas seperti para pemukim di Wonocatur harus terus bersiasat untuk bertahan hidup.

Dalam kondisi ini, Maria Uthe dan kelompok Tactic yang terdiri dari Ayu Arista Murti, Lily Elserisa, dan Mutia Bunga mencatat pengalaman para warga permukiman pemulung Wonocatur. Maria Uthe adalah seorang seniman dan perancang grafis yang memiliki ketertarikan dengan sampah sebagai persoalan sosial, ekologi, dan budaya. Sementara itu, Tactic adalah kelompok seniman, penulis, dan kurator yang menggunakan sampah sebagai material eksperimen bentuk estetik serta pengembangan model ekonomi komunitas yang berkelanjutan. Proses pencatatan dimulai ketika Tactic dan Maria Uthe berkenalan dengan Andika Kartika Putra, seorang Koordinator Dapur Wonocatur. Kemudian, proses mereka dilanjutkan dengan beberapa kunjungan ke Wonocatur.

Bagi para carik, kunjungan dan obrolan yang tercipta selama proses pencatatan tidaklah cukup untuk benar-benar menangkap pengalaman para penghuni permukiman pemulung di Wonocatur. Durasi kerja yang pendek dan keharusan menjaga jarak selama pandemi Covid-19 menjadi halangan untuk betul-betul menghabiskan waktu bersama mereka. Akhirnya, para carik dalam segala keterbatasannya menghasilkan catatan berupa karya dan teks berikut ini.

Tactic (Ayu Arista, Lily Elserina, dan Mutia Bunga)

Dari Telinga, Kemudian Rupa

Mix Media (Upcycled Plastic)

2021

Pertemuan dengan warga di kampung pemulung Wonocatur memunculkan siasat baru dalam kekaryaan kami. Biasanya kami berangkat dari isu, mendengarkan, membaca, dan melihat. Kali ini praktik mendengarkan adalah titik awal kekaryaan kali ini. Kami pikir kami akan mengenal tanda-tanda baru dari coret-coretan yang ditorehkan warga di dinding ekspresi, namun melalui praktik membuat dinding tersebut, kami justru banyak mendengarkan cerita-cerita yang baru untuk kami. Tutupnya dapur umum kampung pemulung di Wonocatur tak menyurutkan praktik berbagi di antara mereka. Mereka tetap bercengkrama, berbagi cerita, sudi mendengar. Kali ini kami benar-benar berangkat dari pendengaran, merekamnya dalam pikiran, dan menerjemahkannya dalam karya tanpa sistem ‘keroyokan’ seperti biasanya. Karya ini merupakan eksperimentasi dari Tactic berkolektif secara terbatas dari rumah. Kami menggunakan bahan dan material yang ada di rumah masing-masing dan sampah plastik yang didapatkan dari Bapak Ibu pemulung di kampung pemulung Wonocatur sebelum dikonfigurasi menjadi satu.

Yang Didengar Ayu Arista: "… Menjadi 4 Jam Lebih Lama"

Seorang anonim berkata, ”Tentu saja keadaan sekarang lebih sulit, perjalanan untuk memulung barang-barang. Biasanya kami berjalan kaki memerlukan waktu 2 jam untuk memenuhi gerobak, sekarang menjadi 4 jam. Toko banyak tutup sehingga barang yang dipungut pun berkurang.”

Yang Didengar Mutia Bunga: “… Sejak Kecil Aku Sudah Bekerja di Jalan”

“Aku sudah lupa caranya menggambar pistol. Dulu waktu masih sekolah TK, aku bisa. Aku pernah sekolah. Sejak tidak sekolah lagi, aku bekerja di jalanan, Kak.”

Yang Didengar Lily Elserisa: “… Nek Aku Lara, Anakku Mangan Apa?”

Kalimat yang tak sengaja didengar terekam terus di kepala dan sampai ke awan-awan. Kalimat ini menggema. Seorang ibu berbaju merah sedang berbincang dan bercanda dengan warga lain seraya berkata, “Aku ya rak gelem lara. Nek aku lara, anakku mangan apa?” (aku juga tidak mau sakit. Kalau aku sakit, anakku makan apa?).

Maria Uthe

Message from the Remnants (5 seri)

Sablon pada Karung Plastik

2021

Message from the Remnants adalah seri catatan desain hasil nyantrik (belajar dan refleksi) dari aksi solidaritas bantuan pangan warga Dapur Wonocatur. Para pemulung di Dapur Wonocatur adalah satu di antara kelompok pemulung rentan lainnya yang turut kehilangan sebagian/seluruh penghasilan terbatasnya untuk makan dan hidup sehari-hari. Mereka mencari nafkah dengan mengumpulkan sampah dalam karung-karung bekas yang di penghujung hari hanya mampu mengakomodir kebutuhan jangka pendek. Karung-karung hasil bekerja sehari-hari selayaknya pesan dan harapan yang menentukan esok. Dalam kompleksitas problem kemiskinan, akses sumber daya lewat gimmick karung-karung program subsidi dan bansos malah dimanfaatkan para penguasa dan pembuat kebijakan sebagai instrumen yang berpihak pada keuntungan kelompok elit, industri ekstraktif dan eksploitatif.

Seri gambar Message from the Remnants mengapropriasi bahasa dan desain vernakular karung-karung pabrik di berbagai sektor komoditas. Pendekatan tersebut adalah upaya menyuarakan pesan dan kritik satir atas ketimpangan akses pangan, kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastruktur, lahan dan persoalan identitas yang dialami warga pemulung Wonocatur dan kelompok rentan lainnya atas pengabaian struktural yang lebih besar.

Karya pencatatan Tactic dan Maria Uthe diciptakan untuk membangun jembatan dialog di masa masyarakat terus diingatkan untuk menjaga jarak dan tetap di rumah. Internet dan media sosial diharapkan menjadi alat yang mampu membangun relasi sosial. Meskipun, sebagai alat, internet tidaklah sempurna atau lengkap. 

Siasat Tactic dan Maria Uthe dalam membangun dinding komunikasi dengan penghuni permukiman pemulung Wonocatur bisa jadi merupakan metode analog yang patut dicoba di kampung atau ruang komunitas lainnya. Ketika ruang digital terlalu riuh dan justru memecah belah, alih-alih membangun pengertian, masih ada ruang-ruang analog di sekitar kita yang dapat digunakan untuk membangun kebersamaan yang sempat hilang. Menjadi bersama artinya turut merasakan bahwa ada bentuk-bentuk kehidupan yang sedang berjuang dan bertahan di tengah kebijakan yang tidak bijak. Bagaimana mendengar, memahami, dan saling membantu dapat diwujudkan di masa sekarang? Mungkin ini pertanyaan yang akan terus membekas di hati kita, seperti yang dialami melalui karya pencatatan Tactic, Maria Uthe, dan kisah Dapur Wonocatur.

Pemrogram pameran: Ipeh Nur dan Syafiatudina

Cerita Lainnya